Oleh
: Muhammad Abdul Aziz
Masih tergiang teriakan para panitia
osmaru kala itu “Viva Justicia, Kami
Bangga Ada Disini”, sebuah kebanggan besar untuk berada dan menjadi bagian dari
civitas akademia bernama Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret. Kata hukum yang kala itu masih sangat terasa
angker bagi saya, membuat saya beranggapan bahwa kedepannya saya akan menjalani
masa perkuliahan yang keras, disiplin dan setertib hukum itu. Sebuah pandangan
awal saya ketika memijakkan kaki sebagai Maha Siswa Fakultas Hukum.
Masa orientasi mahasiswa baru
diwarnai dengan berbagai pertunjukan tentang senioritas dan penegakan disiplin
yang cukup keras. Tugas yang kala itu terasa sangat berat, menjadikan sebuah pengakraban
bagi kami, Maha Siswa Maha Siswa baru. Namun disisi lain, saya baru menyadari,
bahwa setelah masa orientasi itu, selain pemahaman terhadap Tri Dharma
Perguruan Tinggi yang masih sangat awam, saya merasa belum memahami tentang
tujuan saya ada disini, di kampus ini, menjadi Yang Maha Siswa.
Semester awal merupakan massa dimana
saya masih bangga dengan kata “ngampus”, merasakan euforia kebebasan berpakaian
di kampus yang tak seketat masa SMA, serta kebebasan berpenampilan, rambut
gondrong Yang Maha Siswa. Belum terbesit sedikitpun mengenai orientasi
keilmuan, asal ngampus, lulus ujian dengan nilai pas pas an, cukup. Seiring
bertambahnya semester, mulai muncul pemikiran perbaikan nilai, caranya? segala
cara. Adu rebutan dosen saat input KRS, berbagai bentuk pelanggaran aturan
ujian, sampai pada lobby minta tugas tambahan untuk mendongkrak nilai, adalah
hal yang mulai menjadi rutinitas. Entah nilai itu diimbangi dengan pemahaman
atau tidak, asal IP semester menjamin 24sks semester selanjutnya, maju tak gentar.
Kecenderungan untuk mementingkan
nilai ini mulai diikuti dengan berbagai fenoma unik di kampus tercinta ini.
Pernah dengar cerita untuk sebuah ujian remidiasi keilmuan hukum dilakukan
dengan cara bernyayi atau menari, tertawa saya ketika mendengar cerita salah
seorang teman ini. Atau pernah muncul opini bahwa mereka para Maha Siswi dengan
kemolekan fisik mendapatakan nilai lebih dari beberapa dosen, sebenarnya hanya opini
yang didasarkan pada daftar nilai yang kurang transparan, atau mungkin memang
fakta, entahlah, Maha Siswa. Sejak saat itu, telah terpetakan dan
terklasifikasikanlah para bapak ibu dosen itu.
Seiring bertambahnya jumlah
semester, pemikiran mengenai skripsi menjadi bagian puncak dari cerita seorang
Maha Siswa. Pernah terdiskusikan tentang dua pilihan untuk mengerjakan skripsi,
yang cepat atau yang idealis. Dari pengalaman dan cerita kakak tingkat telah
dipetakan bahwa ada bagian-bagian hukum yang bisa mempercepat pengerjaan
skripsi. Tapi untuk kualitas hasilnya, silahkan dicek sendiri. Telah
diklasifikasikan pula ada bagian tertentu yang terkenal idealis, ketat, dan
menerapkan standar yang tinggi dalam penyusunan penulisan hukum ini. Sebuah
dilema, cepat lulus dan bangga atau bersabar dan benar-benar menjadi pantas
lulus, pantas SH. Setiap teman punya piihan masing-masing, mulai muncul
berbagai argumentasi, dimana pilihan bagian hukum telah mereka sesuaikan dengan
impian karir mereka, mereka perjuangkan, serumit dan sedilematis apapun itu.
Adapula yang memilih yang penting cepat lulus, cepat SH, urusan cari kerja,
semua bisa diatur dan dipikir belakangan, maju tak gentar.
Cerita penutup dari rangkaian kisah
Yang Maha Siswa adalah ketika ujian skripsi, sangat erat kaitannya dengan
pilihan dalam skripsi tadi, erat sekali. Ada cerita tentang ujian yang dihiasi
air mata, alkisah sang pembimbing menyatakan si skripsi belum layak, namun sang
Maha Siswa telah bertekad dan harus wajib lulus mengikuti periode wisuda
pertama angkatannya, katanya tangis airmata mengiringi ujian skripsi hari itu.
Adapula cerita tentang ujian yang dikejarkan, katanya hari-hari itu sudah
memasuki batas akhir masa ujian skripsi untuk mengikuti periode wisuda. Alhasil
hari itu mahasiswa yang harus diujikan jumlahnya berlebih, denger-denger ada
sidang skripsi yang terakhir hari itu terselesaikan setelah matahari tenggelam,
luar biasa. Adapula sebuah fenomena baru, entah atas dasar apa, kesibukan yang
berlebih mungkin, pelaksanaan ujian skripsi dicicil. Ketika Dewan Penguji yang
seyogyanya terdiri dari tiga orang belum dapat hadir semuanya secara bersamaan,
bisalah dengan kesepakatan bersama, dicicil diuji oleh dosen yang sudah hadir
terlebih dahulu, selanjutnya diskors, lanjut dosen lainnya. Bahkan pernah saya
saksikan sendiri seorang teman diujikan oleh tiga orang penguji secara terpisah
dan bergiliran. Entah seperti apa sebenarnya standarnya, tapi di mata saya
pudar sudah kesakralan sebuah sidang ujian skripsi.
Yang Maha Siswa memang mahanya para
siswa, dimana rangkaian kisahnya benar-benar puncak pembelajaran. Tak hanya
secara akademik, tapi yang lebih utama adalah pembelajaran kehidupan. Pandangan
awal saya tentang hukum yang keras, disiplin dan tertib sekarang telah berubah.
Hukum adalah rimba, yang sifatnya sangat beraneka. Bisa menjadikan kita tertawa
bahkan miris menjadi bagiannya.
VIVA
JUSTICIA, SAYA BANGGA PERNAH ADA DISINI!!!