Senin, 07 April 2014

Yang Maha Siswa


Oleh : Muhammad Abdul Aziz
            Masih tergiang teriakan para panitia osmaru kala itu “Viva Justicia, Kami Bangga Ada Disini”, sebuah kebanggan besar untuk berada dan menjadi bagian dari civitas akademia bernama Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Kata hukum yang kala itu masih sangat terasa angker bagi saya, membuat saya beranggapan bahwa kedepannya saya akan menjalani masa perkuliahan yang keras, disiplin dan setertib hukum itu. Sebuah pandangan awal saya ketika memijakkan kaki sebagai Maha Siswa Fakultas Hukum.
            Masa orientasi mahasiswa baru diwarnai dengan berbagai pertunjukan tentang senioritas dan penegakan disiplin yang cukup keras. Tugas yang kala itu terasa sangat berat, menjadikan sebuah pengakraban bagi kami, Maha Siswa Maha Siswa baru. Namun disisi lain, saya baru menyadari, bahwa setelah masa orientasi itu, selain pemahaman terhadap Tri Dharma Perguruan Tinggi yang masih sangat awam, saya merasa belum memahami tentang tujuan saya ada disini, di kampus ini, menjadi Yang Maha Siswa.
            Semester awal merupakan massa dimana saya masih bangga dengan kata “ngampus”, merasakan euforia kebebasan berpakaian di kampus yang tak seketat masa SMA, serta kebebasan berpenampilan, rambut gondrong Yang Maha Siswa. Belum terbesit sedikitpun mengenai orientasi keilmuan, asal ngampus, lulus ujian dengan nilai pas pas an, cukup. Seiring bertambahnya semester, mulai muncul pemikiran perbaikan nilai, caranya? segala cara. Adu rebutan dosen saat input KRS, berbagai bentuk pelanggaran aturan ujian, sampai pada lobby minta tugas tambahan untuk mendongkrak nilai, adalah hal yang mulai menjadi rutinitas. Entah nilai itu diimbangi dengan pemahaman atau tidak, asal IP semester menjamin 24sks semester selanjutnya, maju tak gentar.
            Kecenderungan untuk mementingkan nilai ini mulai diikuti dengan berbagai fenoma unik di kampus tercinta ini. Pernah dengar cerita untuk sebuah ujian remidiasi keilmuan hukum dilakukan dengan cara bernyayi atau menari, tertawa saya ketika mendengar cerita salah seorang teman ini. Atau pernah muncul opini bahwa mereka para Maha Siswi dengan kemolekan fisik mendapatakan nilai lebih dari beberapa dosen, sebenarnya hanya opini yang didasarkan pada daftar nilai yang kurang transparan, atau mungkin memang fakta, entahlah, Maha Siswa. Sejak saat itu, telah terpetakan dan terklasifikasikanlah para bapak ibu dosen itu.
            Seiring bertambahnya jumlah semester, pemikiran mengenai skripsi menjadi bagian puncak dari cerita seorang Maha Siswa. Pernah terdiskusikan tentang dua pilihan untuk mengerjakan skripsi, yang cepat atau yang idealis. Dari pengalaman dan cerita kakak tingkat telah dipetakan bahwa ada bagian-bagian hukum yang bisa mempercepat pengerjaan skripsi. Tapi untuk kualitas hasilnya, silahkan dicek sendiri. Telah diklasifikasikan pula ada bagian tertentu yang terkenal idealis, ketat, dan menerapkan standar yang tinggi dalam penyusunan penulisan hukum ini. Sebuah dilema, cepat lulus dan bangga atau bersabar dan benar-benar menjadi pantas lulus, pantas SH. Setiap teman punya piihan masing-masing, mulai muncul berbagai argumentasi, dimana pilihan bagian hukum telah mereka sesuaikan dengan impian karir mereka, mereka perjuangkan, serumit dan sedilematis apapun itu. Adapula yang memilih yang penting cepat lulus, cepat SH, urusan cari kerja, semua bisa diatur dan dipikir belakangan, maju tak gentar.
            Cerita penutup dari rangkaian kisah Yang Maha Siswa adalah ketika ujian skripsi, sangat erat kaitannya dengan pilihan dalam skripsi tadi, erat sekali. Ada cerita tentang ujian yang dihiasi air mata, alkisah sang pembimbing menyatakan si skripsi belum layak, namun sang Maha Siswa telah bertekad dan harus wajib lulus mengikuti periode wisuda pertama angkatannya, katanya tangis airmata mengiringi ujian skripsi hari itu. Adapula cerita tentang ujian yang dikejarkan, katanya hari-hari itu sudah memasuki batas akhir masa ujian skripsi untuk mengikuti periode wisuda. Alhasil hari itu mahasiswa yang harus diujikan jumlahnya berlebih, denger-denger ada sidang skripsi yang terakhir hari itu terselesaikan setelah matahari tenggelam, luar biasa. Adapula sebuah fenomena baru, entah atas dasar apa, kesibukan yang berlebih mungkin, pelaksanaan ujian skripsi dicicil. Ketika Dewan Penguji yang seyogyanya terdiri dari tiga orang belum dapat hadir semuanya secara bersamaan, bisalah dengan kesepakatan bersama, dicicil diuji oleh dosen yang sudah hadir terlebih dahulu, selanjutnya diskors, lanjut dosen lainnya. Bahkan pernah saya saksikan sendiri seorang teman diujikan oleh tiga orang penguji secara terpisah dan bergiliran. Entah seperti apa sebenarnya standarnya, tapi di mata saya pudar sudah kesakralan sebuah sidang ujian skripsi.
            Yang Maha Siswa memang mahanya para siswa, dimana rangkaian kisahnya benar-benar puncak pembelajaran. Tak hanya secara akademik, tapi yang lebih utama adalah pembelajaran kehidupan. Pandangan awal saya tentang hukum yang keras, disiplin dan tertib sekarang telah berubah. Hukum adalah rimba, yang sifatnya sangat beraneka. Bisa menjadikan kita tertawa bahkan miris menjadi bagiannya.

VIVA JUSTICIA, SAYA BANGGA PERNAH ADA DISINI!!!

Catatan Doraemon


            Saya, Muhammad Abdul Aziz, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang berpawakan gempal. Masuk sebagai bagian dari civitas akademica pada angkatan 2009, sempat aktif dan masih menjadi anggota LPM NOVUM FH UNS dan KSP PRINCIPIUM. Dalam tulisan ini ingin mengutarakan sedikit catatan yang menurut saya unik selama menjadi Maha Siswa.
KRS
            Sejak memasuki semester dua dan sampai semester terakhir saya menjadi mahasiswa, masa input KRS selalu menjadi masa krusial penentu pembelajaran satu semesternya. Bukan hanya tentang pilihan dosen yang sangat berpengaruh terhadap nilai akhir dan berat tidaknya proses perkuliahan yang harus dijalani, namun cerita unik selalu hadir saat ritual input KRS ini. Mulai dari erornya sistem akademik online, pernah saya sendiri terkejut ketika hari H input KRS password untuk log in berubah dengan sendiri, alhasil harus mondar-mandir dan berurusan dengan pihak birokrat kampus menjadikan rencana studi yang saya susun harus dirombak total semester itu. Saat memasuki semester akhir dan membutuhkan banyak mata kuliah pilihan guna memenuhi syarat jumlah sks untuk lulus, fenomena kekurangan mata kuliah pilihan muncul. Jumlah mahasiswa yang membutuhkan mata kuliah pilihan tidak mampu diakomodir oleh pihak kampus, karena keterbatasan sumber daya dosennya. Ada pula gosip yang beredar mengenai perlakuan khusus bagi mereka yang mempunyai hubungan dengan mereka yang berwenang di fakultas, pernah beredar gambar dimana ada satu mahasiswa yang dapat input KRS sebelum memasuki waktu input, sebelum servernya dibuka.
UKD
            Ujian Kompetensi Dasar seyogyanya adalah tahapan untuk mengetahui sejauh apa penguasaan materi perkuliahan oleh mahasiswa. Namun faktanya, banyak ikhtiar yang luar biasa dilakukan kami para mahasiswa untuk mendapatkan nilai A. Pernah melihat setumpuk potongan kertas seukuran kartu nama yang disteples dipojokannya? Isinya adalah slide perkuliahan yang dicetak atau difotokopi perkecil lalu dipotong-potong dengan rapi supaya mudah menyelipkannya dan membawanya saat ujian. Atau tempat pensil yang didalamnya menyala handphone canggih yang menampilkan slide perkuliahan atau artikel di internet hasil browsing. Atau yang paling konvensional adalah mahasiswa yang selalu sibuk toleh kanan kiri dan berdiskusi saat ujian. Hal itu saya alami dan lihat dengan mata kepala saya, dilakukan oleh kami yang notabene adalah generasi yang akan menjadi penegak hukum, pembentuk hukum, dan pengawas hukum.
UKM
            Organisasi kampus, wadah idealisme mahasiswa, kawah candradimuka para aktivis kampus. Pernah menjadi pengurus salah satu organisasi kampus membuka pandangan saya tentang organisasi kampus. Masalah keuangan yang menjadikan kami sangat tergantung dengan pihak kampus, atau masih rendahnya kesadaran dan semangat mahasiswa untuk aktif berorganisasi dan melatih soft skill mereka menjadi hal yang hampir dihadapi semua organisasi internal kampus. Terkait pendanaan kegiatan organisasi kampus yang didasarkan pada keuangan kampus pula ini, ada sedikit catatan saya tentang pembelajaran budaya manipulasi. Sistem pertanggungjawaban keuangan yang ketat dari pihak kampus sering kali berbenturan dengan kemampuan organisasi internal kampus sendiri. Alhasil pada beberapa laporan keuangan, manipulasi cap tanda terima, atau sedikit penyesuaian anggaran dengan penggeluaran sudah menjadi hal wajar. Termasuk mark up proposal kegiatan, tentu dengan harapan ada uang lebih yang didapat guna memenuhi kebutuhan keuangan untuk kegiatan lain yang tidak masuk anggaran dari kampus. Para aktivis, para idealis pun, banyak yang meruntuhkan prinsipnya yang sangat anti korupsi ketika dibenturkan pada kebutuhan ekonomi.
MAGANG
            Sebagai bagian dari mata kuliah wajib, KMM menjadi rangakaian cerita tersendiri selama perkuliahan sebagai 2 sks terberat bagi saya. KMM yang dibagi menjadi dua, mandiri dan reguler menuntut setiap mahasiswa yang mengambil KMM pada semester itu mempersiapkannya dengan baik. Terkhusus bagi mereka yang berencana melakukan magang mandiri, proses perijinan dan kesepakatan dengan pihak mitra harus dibangun selama beberapa bulan. Pada saat saya magang dulu muncul sebuah fenomena menarik, setelah sosialisasi iuran magang bagi mereka yang mengambil magang mandiri, muncul banyak tanda tanya tentang anggaran, mulai dari transportasi dosen pembimbing, akomodasi, dan beberapa anggaran lainnya termasuk pengadaan sarana prasarana magang sendiri. Bagi kami yang memilih untuk magang mandiri memang dikenakan biaya tambahan untuk kepentingan-kepentingan kerjasama dengan pihak mitra, transportasi dan akomodasi dosen pembimbing dan supervisor juga. Selama proses magang banyak hal yang tidak sesuai dengan ekspektasi magang kami sebelumnya, banyak ceritanya, mulai dari yang kerjaannya yang penting absen tiap hari, ada yang tertunda magangnya karena musibah kebakaran di kantor pihak mitra, atau yang sempat dialihkan magangnya karena adanya permasalahan pihak mitra. Namun yang sempat menjadi perbincangan dan pergunjingan saya dan teman-teman adalah hadirnya “penghuni baru” parkiran gedung dua setelah selesai magang, banyak opini yang muncul diantara kami, kecurigaan, prasangka buruk, banyaklah.
JURNAL
            Salah satu syarat untuk dapat wisuda adalah dengan menulis jurnal ilmiah nasional, yang dipublikasikan melalaui media, baik cetak dan atau media online. Sebuah persyaratan yang belum lama diberlakukan oleh Dirjen Dikti. Alhasil pihak kampus berusaha memfasilitasi penerbitan jurnal ini dengan sistem masing-masing bagian di Fakultas Hukum membuat terbitan untuk jurnal. Hal pertama yang cukup menarik adalah adanya perbedaan tarif untuk biaya penerbitan di masing-masing bidang, mulai dari seratus ribu rupiah sampai tiga ratus ribu rupiah. Standar yang mungkin memang berbeda-beda untuk masing-masing bagian. Beberapa saat lalu juga muncul kegelisahan ketika jurnal hasil penulisan mahasiswa ini dikomersialkan dan dijual di salah satu toko buku di Solo. Ketika penulis lain mendapatkan royalti ketika tulisannya diterbitkan dan diperjualbelikan, bagi sebagian teman kami yang tulisannya dijual itu, mereka yang membayar biaya cetak, dan entah siapa yang menikmati hasil penjualan jurnalnya, toh para penulis sudah lulus.
SKRIPSI
            Penulisan hukum menjadi puncak dari perjuangan dan karya seorang Maha Siswa. Pernah terdiskusikan untuk skripsi ini ada dua pilihan, yang cepat atau yang idealis. Dari pengalaman dan cerita kakak tingkat telah dipetakan bahwa ada bagian-bagian hukum yang bisa mempercepat pengerjaan skripsi. Tapi untuk kualitas hasilnya, silahkan dicek sendiri. Telah diklasifikasikan pula ada bagian tertentu yang terkenal idealis, ketat, dan menerapkan standar yang tinggi dalam penyusunan penulisan hukum ini. Sebuah dilema, cepat lulus dan bangga atau bersabar dan benar-benar menjadi pantas lulus, pantas SH. Setiap teman punya piihan masing-masing, mulai muncul berbagai argumentasi, dimana pilihan bagian hukum telah mereka sesuaikan dengan impian karir mereka, mereka perjuangkan, serumit dan sedilematis apapun itu. Adapula yang memilih yang penting cepat lulus, cepat SH, urusan cari kerja, semua bisa diatur dan dipikir belakangan, maju tak gentar. Ketika ujian skripsi, ada cerita tentang ujian yang dihiasi air mata, alkisah sang pembimbing menyatakan si skripsi belum layak, namun sang Maha Siswa telah bertekad dan harus wajib lulus mengikuti periode wisuda pertama angkatannya, katanya tangis airmata mengiringi ujian skripsi hari itu. Adapula cerita tentang ujian yang dikejarkan, katanya hari-hari itu sudah memasuki batas akhir masa ujian skripsi untuk mengikuti periode wisuda. Alhasil hari itu mahasiswa yang harus diujikan jumlahnya berlebih, denger-denger ada sidang skripsi yang terakhir hari itu terselesaikan setelah matahari tenggelam, luar biasa. Adapula sebuah fenomena baru, entah atas dasar apa, kesibukan yang berlebih mungkin, pelaksanaan ujian skripsi dicicil. Ketika Dewan Penguji yang seyogyanya terdiri dari tiga orang belum dapat hadir semuanya secara bersamaan, bisalah dengan kesepakatan bersama, dicicil diuji oleh dosen yang sudah hadir terlebih dahulu, selanjutnya diskors, lanjut dosen lainnya. Bahkan pernah saya saksikan sendiri seorang teman diujikan oleh tiga orang penguji secara terpisah dan bergiliran. Entah seperti apa sebenarnya standarnya, tapi di mata saya pudar sudah kesakralan sebuah sidang ujian skripsi.

            Lalu mengapa catatan Doraemon? Apakan karena bentuk fisik sang penulis? Bukan. Catatan ini adalah hal banyak diketahui dan disadari oleh banyak pihak di lingkungan kampus, namun butuh sebuah keajaiban untuk mempublikasikan dan menyebar luaskan pada mereka yang belom tahu, dan keajaiban itu adalah keajaiban kantong Doraemon. J
SALAM PERSMA!!! HIDUP MAHASISWA!!!