Senin, 07 April 2014

Yang Maha Siswa


Oleh : Muhammad Abdul Aziz
            Masih tergiang teriakan para panitia osmaru kala itu “Viva Justicia, Kami Bangga Ada Disini”, sebuah kebanggan besar untuk berada dan menjadi bagian dari civitas akademia bernama Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Kata hukum yang kala itu masih sangat terasa angker bagi saya, membuat saya beranggapan bahwa kedepannya saya akan menjalani masa perkuliahan yang keras, disiplin dan setertib hukum itu. Sebuah pandangan awal saya ketika memijakkan kaki sebagai Maha Siswa Fakultas Hukum.
            Masa orientasi mahasiswa baru diwarnai dengan berbagai pertunjukan tentang senioritas dan penegakan disiplin yang cukup keras. Tugas yang kala itu terasa sangat berat, menjadikan sebuah pengakraban bagi kami, Maha Siswa Maha Siswa baru. Namun disisi lain, saya baru menyadari, bahwa setelah masa orientasi itu, selain pemahaman terhadap Tri Dharma Perguruan Tinggi yang masih sangat awam, saya merasa belum memahami tentang tujuan saya ada disini, di kampus ini, menjadi Yang Maha Siswa.
            Semester awal merupakan massa dimana saya masih bangga dengan kata “ngampus”, merasakan euforia kebebasan berpakaian di kampus yang tak seketat masa SMA, serta kebebasan berpenampilan, rambut gondrong Yang Maha Siswa. Belum terbesit sedikitpun mengenai orientasi keilmuan, asal ngampus, lulus ujian dengan nilai pas pas an, cukup. Seiring bertambahnya semester, mulai muncul pemikiran perbaikan nilai, caranya? segala cara. Adu rebutan dosen saat input KRS, berbagai bentuk pelanggaran aturan ujian, sampai pada lobby minta tugas tambahan untuk mendongkrak nilai, adalah hal yang mulai menjadi rutinitas. Entah nilai itu diimbangi dengan pemahaman atau tidak, asal IP semester menjamin 24sks semester selanjutnya, maju tak gentar.
            Kecenderungan untuk mementingkan nilai ini mulai diikuti dengan berbagai fenoma unik di kampus tercinta ini. Pernah dengar cerita untuk sebuah ujian remidiasi keilmuan hukum dilakukan dengan cara bernyayi atau menari, tertawa saya ketika mendengar cerita salah seorang teman ini. Atau pernah muncul opini bahwa mereka para Maha Siswi dengan kemolekan fisik mendapatakan nilai lebih dari beberapa dosen, sebenarnya hanya opini yang didasarkan pada daftar nilai yang kurang transparan, atau mungkin memang fakta, entahlah, Maha Siswa. Sejak saat itu, telah terpetakan dan terklasifikasikanlah para bapak ibu dosen itu.
            Seiring bertambahnya jumlah semester, pemikiran mengenai skripsi menjadi bagian puncak dari cerita seorang Maha Siswa. Pernah terdiskusikan tentang dua pilihan untuk mengerjakan skripsi, yang cepat atau yang idealis. Dari pengalaman dan cerita kakak tingkat telah dipetakan bahwa ada bagian-bagian hukum yang bisa mempercepat pengerjaan skripsi. Tapi untuk kualitas hasilnya, silahkan dicek sendiri. Telah diklasifikasikan pula ada bagian tertentu yang terkenal idealis, ketat, dan menerapkan standar yang tinggi dalam penyusunan penulisan hukum ini. Sebuah dilema, cepat lulus dan bangga atau bersabar dan benar-benar menjadi pantas lulus, pantas SH. Setiap teman punya piihan masing-masing, mulai muncul berbagai argumentasi, dimana pilihan bagian hukum telah mereka sesuaikan dengan impian karir mereka, mereka perjuangkan, serumit dan sedilematis apapun itu. Adapula yang memilih yang penting cepat lulus, cepat SH, urusan cari kerja, semua bisa diatur dan dipikir belakangan, maju tak gentar.
            Cerita penutup dari rangkaian kisah Yang Maha Siswa adalah ketika ujian skripsi, sangat erat kaitannya dengan pilihan dalam skripsi tadi, erat sekali. Ada cerita tentang ujian yang dihiasi air mata, alkisah sang pembimbing menyatakan si skripsi belum layak, namun sang Maha Siswa telah bertekad dan harus wajib lulus mengikuti periode wisuda pertama angkatannya, katanya tangis airmata mengiringi ujian skripsi hari itu. Adapula cerita tentang ujian yang dikejarkan, katanya hari-hari itu sudah memasuki batas akhir masa ujian skripsi untuk mengikuti periode wisuda. Alhasil hari itu mahasiswa yang harus diujikan jumlahnya berlebih, denger-denger ada sidang skripsi yang terakhir hari itu terselesaikan setelah matahari tenggelam, luar biasa. Adapula sebuah fenomena baru, entah atas dasar apa, kesibukan yang berlebih mungkin, pelaksanaan ujian skripsi dicicil. Ketika Dewan Penguji yang seyogyanya terdiri dari tiga orang belum dapat hadir semuanya secara bersamaan, bisalah dengan kesepakatan bersama, dicicil diuji oleh dosen yang sudah hadir terlebih dahulu, selanjutnya diskors, lanjut dosen lainnya. Bahkan pernah saya saksikan sendiri seorang teman diujikan oleh tiga orang penguji secara terpisah dan bergiliran. Entah seperti apa sebenarnya standarnya, tapi di mata saya pudar sudah kesakralan sebuah sidang ujian skripsi.
            Yang Maha Siswa memang mahanya para siswa, dimana rangkaian kisahnya benar-benar puncak pembelajaran. Tak hanya secara akademik, tapi yang lebih utama adalah pembelajaran kehidupan. Pandangan awal saya tentang hukum yang keras, disiplin dan tertib sekarang telah berubah. Hukum adalah rimba, yang sifatnya sangat beraneka. Bisa menjadikan kita tertawa bahkan miris menjadi bagiannya.

VIVA JUSTICIA, SAYA BANGGA PERNAH ADA DISINI!!!

Catatan Doraemon


            Saya, Muhammad Abdul Aziz, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang berpawakan gempal. Masuk sebagai bagian dari civitas akademica pada angkatan 2009, sempat aktif dan masih menjadi anggota LPM NOVUM FH UNS dan KSP PRINCIPIUM. Dalam tulisan ini ingin mengutarakan sedikit catatan yang menurut saya unik selama menjadi Maha Siswa.
KRS
            Sejak memasuki semester dua dan sampai semester terakhir saya menjadi mahasiswa, masa input KRS selalu menjadi masa krusial penentu pembelajaran satu semesternya. Bukan hanya tentang pilihan dosen yang sangat berpengaruh terhadap nilai akhir dan berat tidaknya proses perkuliahan yang harus dijalani, namun cerita unik selalu hadir saat ritual input KRS ini. Mulai dari erornya sistem akademik online, pernah saya sendiri terkejut ketika hari H input KRS password untuk log in berubah dengan sendiri, alhasil harus mondar-mandir dan berurusan dengan pihak birokrat kampus menjadikan rencana studi yang saya susun harus dirombak total semester itu. Saat memasuki semester akhir dan membutuhkan banyak mata kuliah pilihan guna memenuhi syarat jumlah sks untuk lulus, fenomena kekurangan mata kuliah pilihan muncul. Jumlah mahasiswa yang membutuhkan mata kuliah pilihan tidak mampu diakomodir oleh pihak kampus, karena keterbatasan sumber daya dosennya. Ada pula gosip yang beredar mengenai perlakuan khusus bagi mereka yang mempunyai hubungan dengan mereka yang berwenang di fakultas, pernah beredar gambar dimana ada satu mahasiswa yang dapat input KRS sebelum memasuki waktu input, sebelum servernya dibuka.
UKD
            Ujian Kompetensi Dasar seyogyanya adalah tahapan untuk mengetahui sejauh apa penguasaan materi perkuliahan oleh mahasiswa. Namun faktanya, banyak ikhtiar yang luar biasa dilakukan kami para mahasiswa untuk mendapatkan nilai A. Pernah melihat setumpuk potongan kertas seukuran kartu nama yang disteples dipojokannya? Isinya adalah slide perkuliahan yang dicetak atau difotokopi perkecil lalu dipotong-potong dengan rapi supaya mudah menyelipkannya dan membawanya saat ujian. Atau tempat pensil yang didalamnya menyala handphone canggih yang menampilkan slide perkuliahan atau artikel di internet hasil browsing. Atau yang paling konvensional adalah mahasiswa yang selalu sibuk toleh kanan kiri dan berdiskusi saat ujian. Hal itu saya alami dan lihat dengan mata kepala saya, dilakukan oleh kami yang notabene adalah generasi yang akan menjadi penegak hukum, pembentuk hukum, dan pengawas hukum.
UKM
            Organisasi kampus, wadah idealisme mahasiswa, kawah candradimuka para aktivis kampus. Pernah menjadi pengurus salah satu organisasi kampus membuka pandangan saya tentang organisasi kampus. Masalah keuangan yang menjadikan kami sangat tergantung dengan pihak kampus, atau masih rendahnya kesadaran dan semangat mahasiswa untuk aktif berorganisasi dan melatih soft skill mereka menjadi hal yang hampir dihadapi semua organisasi internal kampus. Terkait pendanaan kegiatan organisasi kampus yang didasarkan pada keuangan kampus pula ini, ada sedikit catatan saya tentang pembelajaran budaya manipulasi. Sistem pertanggungjawaban keuangan yang ketat dari pihak kampus sering kali berbenturan dengan kemampuan organisasi internal kampus sendiri. Alhasil pada beberapa laporan keuangan, manipulasi cap tanda terima, atau sedikit penyesuaian anggaran dengan penggeluaran sudah menjadi hal wajar. Termasuk mark up proposal kegiatan, tentu dengan harapan ada uang lebih yang didapat guna memenuhi kebutuhan keuangan untuk kegiatan lain yang tidak masuk anggaran dari kampus. Para aktivis, para idealis pun, banyak yang meruntuhkan prinsipnya yang sangat anti korupsi ketika dibenturkan pada kebutuhan ekonomi.
MAGANG
            Sebagai bagian dari mata kuliah wajib, KMM menjadi rangakaian cerita tersendiri selama perkuliahan sebagai 2 sks terberat bagi saya. KMM yang dibagi menjadi dua, mandiri dan reguler menuntut setiap mahasiswa yang mengambil KMM pada semester itu mempersiapkannya dengan baik. Terkhusus bagi mereka yang berencana melakukan magang mandiri, proses perijinan dan kesepakatan dengan pihak mitra harus dibangun selama beberapa bulan. Pada saat saya magang dulu muncul sebuah fenomena menarik, setelah sosialisasi iuran magang bagi mereka yang mengambil magang mandiri, muncul banyak tanda tanya tentang anggaran, mulai dari transportasi dosen pembimbing, akomodasi, dan beberapa anggaran lainnya termasuk pengadaan sarana prasarana magang sendiri. Bagi kami yang memilih untuk magang mandiri memang dikenakan biaya tambahan untuk kepentingan-kepentingan kerjasama dengan pihak mitra, transportasi dan akomodasi dosen pembimbing dan supervisor juga. Selama proses magang banyak hal yang tidak sesuai dengan ekspektasi magang kami sebelumnya, banyak ceritanya, mulai dari yang kerjaannya yang penting absen tiap hari, ada yang tertunda magangnya karena musibah kebakaran di kantor pihak mitra, atau yang sempat dialihkan magangnya karena adanya permasalahan pihak mitra. Namun yang sempat menjadi perbincangan dan pergunjingan saya dan teman-teman adalah hadirnya “penghuni baru” parkiran gedung dua setelah selesai magang, banyak opini yang muncul diantara kami, kecurigaan, prasangka buruk, banyaklah.
JURNAL
            Salah satu syarat untuk dapat wisuda adalah dengan menulis jurnal ilmiah nasional, yang dipublikasikan melalaui media, baik cetak dan atau media online. Sebuah persyaratan yang belum lama diberlakukan oleh Dirjen Dikti. Alhasil pihak kampus berusaha memfasilitasi penerbitan jurnal ini dengan sistem masing-masing bagian di Fakultas Hukum membuat terbitan untuk jurnal. Hal pertama yang cukup menarik adalah adanya perbedaan tarif untuk biaya penerbitan di masing-masing bidang, mulai dari seratus ribu rupiah sampai tiga ratus ribu rupiah. Standar yang mungkin memang berbeda-beda untuk masing-masing bagian. Beberapa saat lalu juga muncul kegelisahan ketika jurnal hasil penulisan mahasiswa ini dikomersialkan dan dijual di salah satu toko buku di Solo. Ketika penulis lain mendapatkan royalti ketika tulisannya diterbitkan dan diperjualbelikan, bagi sebagian teman kami yang tulisannya dijual itu, mereka yang membayar biaya cetak, dan entah siapa yang menikmati hasil penjualan jurnalnya, toh para penulis sudah lulus.
SKRIPSI
            Penulisan hukum menjadi puncak dari perjuangan dan karya seorang Maha Siswa. Pernah terdiskusikan untuk skripsi ini ada dua pilihan, yang cepat atau yang idealis. Dari pengalaman dan cerita kakak tingkat telah dipetakan bahwa ada bagian-bagian hukum yang bisa mempercepat pengerjaan skripsi. Tapi untuk kualitas hasilnya, silahkan dicek sendiri. Telah diklasifikasikan pula ada bagian tertentu yang terkenal idealis, ketat, dan menerapkan standar yang tinggi dalam penyusunan penulisan hukum ini. Sebuah dilema, cepat lulus dan bangga atau bersabar dan benar-benar menjadi pantas lulus, pantas SH. Setiap teman punya piihan masing-masing, mulai muncul berbagai argumentasi, dimana pilihan bagian hukum telah mereka sesuaikan dengan impian karir mereka, mereka perjuangkan, serumit dan sedilematis apapun itu. Adapula yang memilih yang penting cepat lulus, cepat SH, urusan cari kerja, semua bisa diatur dan dipikir belakangan, maju tak gentar. Ketika ujian skripsi, ada cerita tentang ujian yang dihiasi air mata, alkisah sang pembimbing menyatakan si skripsi belum layak, namun sang Maha Siswa telah bertekad dan harus wajib lulus mengikuti periode wisuda pertama angkatannya, katanya tangis airmata mengiringi ujian skripsi hari itu. Adapula cerita tentang ujian yang dikejarkan, katanya hari-hari itu sudah memasuki batas akhir masa ujian skripsi untuk mengikuti periode wisuda. Alhasil hari itu mahasiswa yang harus diujikan jumlahnya berlebih, denger-denger ada sidang skripsi yang terakhir hari itu terselesaikan setelah matahari tenggelam, luar biasa. Adapula sebuah fenomena baru, entah atas dasar apa, kesibukan yang berlebih mungkin, pelaksanaan ujian skripsi dicicil. Ketika Dewan Penguji yang seyogyanya terdiri dari tiga orang belum dapat hadir semuanya secara bersamaan, bisalah dengan kesepakatan bersama, dicicil diuji oleh dosen yang sudah hadir terlebih dahulu, selanjutnya diskors, lanjut dosen lainnya. Bahkan pernah saya saksikan sendiri seorang teman diujikan oleh tiga orang penguji secara terpisah dan bergiliran. Entah seperti apa sebenarnya standarnya, tapi di mata saya pudar sudah kesakralan sebuah sidang ujian skripsi.

            Lalu mengapa catatan Doraemon? Apakan karena bentuk fisik sang penulis? Bukan. Catatan ini adalah hal banyak diketahui dan disadari oleh banyak pihak di lingkungan kampus, namun butuh sebuah keajaiban untuk mempublikasikan dan menyebar luaskan pada mereka yang belom tahu, dan keajaiban itu adalah keajaiban kantong Doraemon. J
SALAM PERSMA!!! HIDUP MAHASISWA!!!

Rabu, 26 September 2012

PELANGGARAN HAK CIPTA DALAM TINDAKAN FOTOCOPY BUKU TINJAUAN UNDANG UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA


      Buku menjadi sebuah kebutuhan wajib bagi seorang pelajar, khususnya seorang mahasiswa. Buku adalah jendela dunia adalah suatu pepatah yang sangat tepat dalam menggambarkan besarya kebutuhan akan sebuah  buku dalam proses menjadikan seseorang lebih terpelajar. Karena dari kebiasaan membacalah pengetahuan yang lebih luas akan didapatkan seseorang.
      Di sisi lain, dalam memenuhi kebutuhan akan buku tersebut budaya fotocopy telah menjadi solusi dalam kehidupan mahasiswa. Melakukan fotocopy atau memperbanyak tanpa izin dari pencipta telah menjadi solusi atas mahalnya harga buku di pasaran saat ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa harga sebuah buku di Indonesia saat ini terasa mahal untuk beberapa kalangan, khususnya kalangan mahasiswa. Hal ini terlihat dari benyaknya praktek fotocopy yang jelas bisa  mempermurah biaya dalam mendapatkan ilmu dari sebuah buku. Kemajuan teknologi tersebut memang memberikan kemudahan bagi kalangan tertentu, salah satunya mahasiswa.
      Kemajuan teknologipun tak selamanya dapat diakomodasi oleh hukum secara baik, dalam hal fotocopy ini, hukum yang telah memberikan perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual, termasuk di dalamnya Hak Cipta sebuah buku, terasa tidak tepat dan efektif dalam penerapannya. Dalam praktek fotocopy ini tentu telah menunjukan adanya ketimpangan sebuah aturan hukum dengan proses kehidupan dalam masyarakat. Adanya pelanggaran atas Hak Cipta melalui kegiatan focopy ini seharusnyanya mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Perhatian itu tentunya harus mampu melihat secara imbang antara kepentingan para penulis dan penerbit buku sebagai pihak yang memiliki Hak Cipta yang selama ini dinodai dengan praktek fotocopy, serta juga harus memperhatikan kebutuhan masyarakat atas buku sebagai media pencerdasan masyarakat.
      Melihat kondisi yang memprihatinkan dari pelaksanaan dan penerapan Undang Undang nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta ini kita harus mampu mengkritisi dan memberikan sebuah solusi. Solusi tersebut diharapkan mampu mengakomodasi kepentingan penulis dan penerbit sebagai pihak pemegang Hak Cipta serta memperhatikan kebutuhan masyarakat dalam memperoleh pengetahuan melalui buku.


  •     Fotocopy Buku Menurut Undang Undang nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta
     

 Dalam Undang Undang nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta telah dijelaskan hak cipta adalah ”hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dengan pejelasan tersebu dapat kita lihat batasan dan luasnya arti sebuah hak cipta. Hak cipta mempunyai cakupan mengenai hak mengumumkan hasil ciptaannya atau karyanya ke ranah publik. Selain adanya hak untuk mengumumkan hasil ciptaannya, telah disebutkan dengan jelas mengenai adanya hak untuk memperbanyak ciptaannya tersebut, serta hak untuk memberikan ijin memperbanyak hasil ciptaannya tersebut.
      Adanya hak untuk memperbanyak hasil ciptaan serta adanya hak memberikan ijin untuk memperbanyak hasil ciptaan tersebut, jelas menggambarkan suatu tinjauan dalam menganalisa tindakan fotocopy buku. Tindakan fotocopy buku yang dilakukan untuk memperbanyak jumlah buku, dan dalam kenyataan hal tersebut dilakukan tanpa adanya ijin dari pencipta maupun penerbit. Melihat kenyataan yang demikian jelas sudah bahwa dalam kehidupan masyarakat kegiatan fotocopy buku yang menurut peraturan perundang-undangan melanggar hukum, yaitu melanggar hak cipta, telah menjadi sebuah solusi singkat, bahkan telah membudaya dalam beberapa kalangan, salah satunya mahasiswa.
      Mahasiswa sebagai kalangan yang dianggap terpelajar, kini telah menhidupkan sebuah buday yang jelas melanggar peraturan perundang-undangan. Ini sebuah fakta mengenai rendahnya kualitas kesadaran hukum di Indonesia.

  •                 Peran Pemerintah
      Pemerintah sebagai institusi yang berwenang atas penciptaan hukum (legislatif), pelaksanaan hukum (eksekutif), dan penindakan atas sebuah huku (yudikatif), mempunyai peran sentral dalam pengawasan dan pelaksanaan Undang Undang nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pemerintah dapat melakukan banyak usaha, salah satunya sosialisasi atas Undang Undang tersebut kepada masyarakat. Sosialisasi atas sebuah Undang Undang tentunya akan meningkatkan kesadaran mesyarakat dalam melaksanakan aturan hukum.
      Selain melakukan usaha sosialisasi pemerintah sebagai institusi yang memegang yurisdiksi suatu negara mampu memberikan tindakan nyata, khususnya dalam mengatasi pelanggaran hak cipta melalui kegiatan fotocopy buku ini. Selain meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengakuan dan penjagaan hak cipta, pemerintah mempunyai kemampuan untuk mengendalikan mahalnya harga buku di Indonesia. Salah satu solusi nyata yang bisa diterapkan pemerintah adalah pemberian subsidi atas buku-buku yang bersifat meningkatkan pengetahuan, atau mengandung unsur ilmiah. Tapi pemberian subsidi tersebut harus diawasi dengan sangat baik, selain buku yang bersifa ilmiah, tentu masih banyak buku yang sifatnya menghibur atau entertaining yang tidak perlu mendapatkan subsidi oleh pemerintah, melihat jarangnya buku yang menghibur untuk difotocopy.

  1. Kesimpulan
  1. Tindakan fotocopy sebuah buku adalah kegiatan melanggar hukum, berdasarkan Undang Undang nomor 19 tahun 2002 mengenai Hak Cipta, tindakan fotocopy telah melanggar hak cipta, yaitu memperbanyak suatu ciptaan atau karya tanpa ijin dari pemegang hak cipta.
  2. Pemerintah sebagai institusi mempunyai peran sentral dalam permasalahan fotocopy ini, pemerintah mempunyai kewenangan dalam memcegah serta memberantas pelanggaran hak cipta melalui fotocopy buku.

  1. Saran
  1. Adanya suatu perhatian lebih dari pemerintah dalam pelaksanaan Undang Undang nomor 19 tahun 2002 mengenai Hak Cipta melalui proses sosialisasi kepada masyarakat guna meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
  2. Pemberian subsidi terhadap buku-buku ilmiah sehingga meringankan beban masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pengetahuan melalui membaca buku.
Kajian Pustaka :
Undang Undang nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta

Kamis, 19 April 2012

Kartini Semakin Berani Telanjangi Diri

Paha yang diumbar, belahan dada yang sengaja dipamerkan atau lekukan garis tubuh perempuan kini sudah menjadi pemandangan sehari-hari kita di ruang publik. Jalan raya, pusat perbelanjaan atau tempat-tempat keramaian lainnya sudah ubahnya sebuah catwalk yang menjadi arena adu mode pakaian dan keindahan bentuk tubuh. Tak ada lagi rasa malu ketika lekuk tubuh mereka dikonsumsi oleh publik, justru secara sengaja eksotisme tubuh itu dipamerkan sebagai sebuah kebanggaan.


  Sebuah perubahan etika dalam berpakaian perempuan Indonesia ini tak dipungkiri lagi sebagai efek bebasnya arus informasi. Proses akulturasi dari berbagai budaya yang perlahan menghapus jati diri perempuan Indonesia. Ketika menjadi seorang yang modis adalah suatu tuntutan bagi beberapa kalangan sosialita tertentu. Dan perkembangan mode dunia semua masuk tanpa ada filter lagi. Segala perubahan etika berpakaian seorang perempuan ini juga sudah merasuk sampai tataran yang sangat memprihatinkan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa justru dari kalangan remaja calon penerus bangsa inilah yang menjadi pelaku atas perubahan itu. Proses dalam pencarian jati diri para remaja yang banyak dirasuki idealisme barat menyebabkan semua sendi kehidupannya terpengaruh oleh budaya barat, termasuk dalam hal berpakaian. Suatu pelunturan nilai-nilai asli bangsa ini telah berubah menjadi kebanggaan tersendiri bagi kalangan remaja.
            Semua perubahan itu tentu membawa banyak dampak, selain lunturnya nasionalisme salah satu efek yang sangat terasa secara langsung adalah semakin banyak munculnya pelecehan seksual terhadap perempuan. Berdasarkan laporan Kepala Biro Operasional Polda Metro Jaya, menyatakan terjadi sebanyak 40 kasus pemerkosaan pada periode Januari hingga September 2011 di Jakarta. Sebuah fakta yang menyadarkan kita bahwa negeri ini semakin tak aman lagi. Namun kita juga harus jeli dalam menyikapinya, karena penyebab munculnya suatu kejahatan tidak hanya karena niat jahat pelakunya, namun juga hadir karena muncul kesempatan. Dalam hal pelecehan seksual terhadap perempuan ini, tentu cara berpakaian perempuan yang bagi sebagian laki-laki menimbulkan birahi, secara lansung maupun tidak langsung bisa mengundang munculnya pelecehan seksual terhadap perempuan.




Pelindungan terhadap perempuan
            Perempuan dulu sering juga disebut wanita, tapi kini penggunanaan istilah wanita mulai jarang digunakan. Hal ini didasarkan pada pemikiran filosofis dimana kata wanita yang dalam bahasa Jawa diartikan sebagai wani ditata atau dalam bahas Indonesianya berani atau bisa ditata. Secara filosofis penggunaan kata wanita dianggap sebagai perendahan kaum perempuan,karena dalam pemaknaan ini maka wanita itu harus tunduk dan patuh terhadap laki-laki. Sehingga sebagai bagian dalam proses persamaan gender di Indonesia, kini digunakan kata perempuan untuk menyebut sosok-sosok penerus RA Kartini.
            Dalam tataran hukum sendiri, perlindungan bagi wanita muncul dalam beberapa Undang-Undang. Salah satunya dalam produk hukum asli Indonesia jaman Orde Baru, yaitu dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam peraturan hukum ini memuat tentang perlindungan terhadap perempuan dalam sebuah perkawinan, di dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak boleh memiliki lebih dari satu istri. Hal ini jelas suatu upaya preventif guna menjaga hak-hak seorang perempuan dalam rumah tangga. Dalam produk hukum lain seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Kewarganegaraan, serta Undang-Undang mengenai kekerasan dalam rumah tangga, perlindungan terhadap hak-hak perempuan juga menjadi substansi pelengkap yang diatur dengan jelas.
            Berbagai produk hukum itu tentu ditindaklanjuti dengan hadirnya berbagai lembaga sebagai pengerak aturan. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, tentu menjadi suatu gambaran keseriusan Indonesia dalam melakukan perlindungan terhadap kaum perempuan. Selain memunculkan kementrian tersendiri, Indonesia juga menghadirkan sebuah komisi khusus bagi perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan trehadap Perempuan merupakan suatu usaha yang secara spesifik melakukan perlindungan terhadap perempuan. Suatu badan yang secara khusus dibentuk oleh Pemerintah Indonesia guna merespon segala kekerasn yang terjadi terhadap perempuan di Indonesia, salah satunya dalam hal pelecehan seksual terhadap perempuan. Komisis ini merupakan suatu lembaga Independen yang berugas dan berwenang untuk, pertama menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan, serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kedua melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta berbagai instrumen internasional yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi perempuan. Ketiga melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan, serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan. Keempat memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, dan yudikatif, serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta perlindungan HAM penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan. Dan terakhir mengembangkan kerja sama regional dan internasional guna meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan  Indonesia, serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan.
Negeri ini telah berupaya untuk melindungi perempuan dalam segala aspek, namun kita juga mengembalikan semuanya ke masing-masing individu perempuan itu. Sejauh mana mereka memanfaatkan perlindungan itu, serta sekali lagi moralitas bangsa ini merupakan aspek yang utama dalam mewujudkan suatu kenyamanan dan perlindunga terhadap perempuan.
Karya ini merupakan tulisan saya dalam pelatihan penulisan opini Lembaga Pendidikan Jurnalistik SOLOPOS

Sabtu, 31 Maret 2012

makanan dan minuman pertamaku

Aku, lahir satu hari menjelang perayaan HUT ABRI. Kala itu bumi pertiwi sedang menanti datangnya fajar pagi, ketika tanggis pertamaku memecah hening dini hari. Entah dari mana mereka mendapatnya selarut itu, yang pasti cairan pertama yang menyentuh tenggorokanku justru berasal dari sebotol air mineral, air mineral yang ditempelkan ke popok baruku lalu tetes demi tetes masuk menembus kering rongga mulutku setelah perjalananku untuk menampakkan diri di bumi.
4,1 itu angka yang ada di alat pengukur berat badanku kala itu, ukuran yang cukup besar dan menimbulkan guratan menggemaskan di seluruh tubuh merahku. Perlahan kudapatkan apa yang menjadi kebutuhanku, air susu ibuku perlahan menjadi obat kegalauanku dalam tak mengerti apa yang kumau. Apa itu lapar? Apa itu ngantuk? Apa itu haus? hanya tanggisanku yang akan menjadikanku tenang setelah mereka memberi kenyamanan yang entah apa itu namanya
Hari ketiga, entah kemana perginya dua malaikat yang mengkreasikan kehadiranku di bumi ini. Yang kulihat hanya sosok berambut mulai putih, dengan pakaian yang pasti berbeda dengan apa yang biasa ibuku kenakan. Aku tak mengerti, rasa itu muncul lagi. Aku menanggis, menunggu mereka memberi apa pun itu yang menjadikanku nyaman. Nampak sosok itu tak mengenali sinyal tanggisku, namun ia berusaha mencari malaikatku, ibuku, tak ketemu. Akhirnya ia mengambil sebuah benda panjang kuning. perlahan ia lepas baju-baju yang melekat pada benda itu. lalu dengan sendok besi ia menyisir benda itu hingga muncul lapisan lembut di sudut sendok besi dan mendekatkannya ke mulutku. Suapan pertama dalam hidupku

air mineral menjadi minuman pertama dalam hidupku

dan pisang adalah makanan pertamaku

Kampus Sebagai Cerminan Kehidupan Bangsa

-->
Kampus merupakan sebuah wilayah khusus yang sangat lekat dengan idealisme dari para mahasiswa penghuninya. Sebagai salah satu titik pijakan pembentukan karakter seorang mahasiswa, kampus berperan sangat besar membentuk karakter para calon pemimpin bangsa ini. Mahasiswa yang hidup dan mempunyai kebebasan untuk beridealisme, akan dengan sangat bebas memilih idealisme yang sesuai dengan jiwa dan pemikiran mereka. Di dalam kampus inilah mahasiswa akan menemukan banyak pilihan idealisme.
            Melihat pentingnya peran kampus dalam pembentukan karakter seorang mahasiswa yang notabene adalah seorang calon pemimpin bangsa, maka sudah selayaknya ada sebuah pengawasan dalam pemberian kebebasan beridealisme di dalam kampus. Pengawasan tersebut dapat dilakukan mulai dari para pemimpin di tingkat nasional, maupun para birokrat yang ada di kampus sendiri. Selain pengawasan dan pembatasan dalam bentuk peraturan, para birokrat kampus sudah selayaknya melihat secara berkala setiap fenomena dan peristiwa di dalam kampus.
Idealisme yang tergambarkan di pandangan saya dalam bentuk suatu organisasi kampus, memiliki berbagai karakter tersendiri. Berbagai kemasan ditawarkan dari idealisme-idealisme tersebut. Kemasan agama adalah salah satu kemasan yang sering ditampilkan, dan merupakan hal yang paling efektif dalam penanaman suatu idealisme dengan mengedepankan kemasan keagamaan..
            Selain kemasan keagamaan yang sebagian hanya membungkus suatu cara berpikir yang tidak sedalam sebuah idealisme keagamaan, kini muncul pula beberapa isu bahwa para politikus negara yang tergabung dalam partai politik mulai mencium peluang memasukkan idealisme mereka ke dalam pemikiran penghuni kampus. Mahasiswa mulai dimasuki cara berpikir politik negara yang perlahan juga diterapkan daam kehidupan politik kampus. Mereka perlahan membawa kepentingan politik mereka ke dalam dunia kampus, yang menimbulkan suatu persaingan politik di dalam kampus.
            Sebuah persaingan sebenarnya suatu sarana yang akan saling meningkatkan kinerja ketika dilakukan sesuai peraturan. Namun dalam sebuah perjalanan yang saya lihat selama ini di kampus, persaingan yang ada sudah mengarah pada bentuk politik kampus. Politik kampus disini saya artikan sebagai usaha untuk menguasai kekuasaan mahasiswa di dalam kampus. Dan ketika politik negara yang kini dalam kondisi yang kurang sehat, ikut terbawa ke dalam politik kampus, maka muncul suatu persaingan politik yang kurang sehat di dalam kampus. Memang tak seekstrim bobroknya politik negara yang sudah dicemari politik uang, tapi politik kampuspun perlahan telah pandai memanfaatkan celah dari setiap peraturan yang ada di kampus untuk kepentingan organisasi ataupun kelompoknyanya.
            Ketika di dalam kampus mahasiswa telah terbiasa berpikir secara politis dan membawa kepentingan golongan ke dalam kepentingan yang lebih luas, maka seperti itulah gambaran kehidupan bangsa ini. Tak ubahnya kehidupan bangsa ini yang semakin tidak karuan dengan begitu banyaknya masalah sosial, politik dan hukum, di kemudian hari kampuspun akan semakin mencerminkan kehidupan bangsa ini, dengan segala masalahnya.
Bangkitlah Indonesia!!! Bangkitlah Mahasiswa!!!
karyaku dalam Majalah LPM NOVUM FH UNS edisi 2012

Masih Efektifkah

-->
Demonstrasi atau biasa disebut sebagai aksi oleh sebagian mahasiswa, menurut saya adalah suatu tindakan berkelompok untuk menyalurkan aspirasinya secara langsung, hal ini seringkali berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah. Namun kini demonstrasi saya rasa kadang mulai berubah menjadi  sarana saling menjatuhkan dalam persaingan politik, hal itu ditandai dengan fakta adanya demonstran bayaran. Dalam melakukan demonstrasi banyak cara yang  bisa dilakukan, mulai dari long march, aksi treatikal, sampai beberapa aksi yang mulai menjurus ke arah kekerasan.
            Pada masa reformasi  demonstrasi sangat identik dengan kaum mahasiswa.  Pada masa itu suatu tindakan yang sangat berani untuk bisa menyampaikan pendapat dan kritikan terhadap pemerintahan secara langsung di ruang publik, sehingga demonstrasi mahasiswa saat itu bisa menimbulkan efek yang luas dan nyata. Dengan cara ini pulalah saat itu mahasiswa berhasil merobohkan era Orde Baru.
Saat ini demontrasi sudah menjadi hal biasa terjadi. Semenjak masa reformasi kebebasan menyampaikan pendapat baik secara lisan maupun tulisan telah dijamin oleh konstitusi. Bahkan pada awal reformasi muncul suatu fenomena adanya kebebasan penyampaian pendapat yang tanpa batas, sehingga tidak tepat lagi. Kini perlahan muncul keseimbangan dalam kebebasan menyampaiakan pendapat di Indonesia.
Seiring dengan kebebasan menyampaikan pendapat ini, kini demonstrasi  tak lagi menjadi monopoli kaum mahasiswa namun buruh, guru dan golongan-golongan lain biasa melakukan hal yang sama. Dan dari sinilah mulai muncul stigma baru mengenai demonstrasi yang bukan lagi suatu tindakan heroik dalam perjuangan suara rakyat, namun lebih ke suatu tindakan masa yang mulai menjurus pada kerusuhan dan sebagian perlahan menjadi gangguan ketertiban masyarakat.  Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai adanya menejemen aksi dan tingkat intelektualitas pelaku demonstrasi yang berujung pada pertanyaan besar mengenai efektifitas dari demonatrasi itu. Kini akan kita lihat sejauh mana efektifitas demonstrasi baik oleh kaum mahasiswa baik bersama ataupun oleh golongan-golongan masyarakat lain dalam menentang rencana kenaikan BBM.
tulisan pertamaku yang dimuat di media masa ( harian JogloSemar 29-03-2012 rubrik akademia-persepsi)